Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an Kunci keberhasilan dakwah Rasulullah SAW adalah keagungan akhlak yang dimilikinya (Qs. Qalam/68: 4). Dengan modal itu, maka beliau pun menjadi teladan/uswatun hasanah (Qs. Al-Ahzab/33: 21) bagi umatnya. Hanya dalam 23 tahun ia berhasil menjalankan misinya dalam menyempurnakan akhlak manusia (li utammima makaarim al-akhlaq) sehingga masyarakat jahiliyah berganti menjadi masyarakat madani. Lalu bagaimana bentuk keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW itu? Pertanyaan ini juga pernaha dirasakan oleh para sahabat sehingga di antara mereka ada yang bertanya kepada Siti A’isyah. Istri Nabi Muhammad ini pun menjawab: kana khuluquhu al-Qur’an, akhlaknya adalah al-Qur’an (HR. Abu Dawud dan Muslim). Demikianlah karakter Nabi Muhammad SAW. Ia laksana al-Qur’an berjalan. Dengan al-Qur’an itu pula ia mendidik para sahabatnya sehingga memiliki karakter/akhlak yang begitu kuat. Sahabat-sahabat yang berkarakter berbasis al-Qur’an tersebut menjadi modal utama dalam membangun masyarakat berperadaban tinggi. Belajar dari keberhasilan Rasulullah SAW tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mendidik karakter manusia, terutama yang mengaku Islam sebagai agamanya, mesti berdasarkan kepada al-Qur’an. Dalam konteks kekinian, pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum telah merumuskan program “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu. Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dan dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab. Program ini patut direspon oleh masyarakat, terutama praktisi pendidikan dan stakeholder yang terkait. Namun, konsep PBKB masih bersifat umum sehingga masih membutuhkan ide-ide kreatif dalam pengembangannya. Di era otonomi ini, pemerintah daerah, termasuk sekolah, sesungguhnya memperoleh peluang yang besar untuk mengembangkan berbagai program yang sesuai dengan kebutuhannya, termasuk mengembangkan konsep pelaksanaan pendidikan karakter tersebut. Selaku umat Islam yang meyakini al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, sejatinya memanfaatkan peluang ini. Lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah termasuk sekolah umum yang terdapat di dalamnya—apalagi mayoritas—siswa beragam Islam, seyogyanya merumuskan konsep pendidikan karakter berbasis al-Qur’an. Sebab secara teologis, mustahil seorang muslim yang mengabaikan al-Qur’an memiliki karakter atau akhlakul karimah sebagaimana yang diinginkan dalam ajaran Islam itu sendiri. Ironis, jika lembaga pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi peserta didik muslim untuk memahami al-Qur’an sekaligus menjadi acuan dalam membentuk karakternya. Akibatnya, mereka akan menjadi manusia yang mengakui Islam sebagai agamanya, tetapi karakternya tidak sesuai tuntunan al-Qur’an. Keberadaan mereka justru merusak nama baik Islam itu sendiri. Untuk itu, sikap kebergamaan kita harus tersentuh menyikapi persoalan ini. Hakikat pendidikan karakter itu sendiri adalah penanaman nilai, membutuhkan keteladanan dan harus dibiasaan, bukan diajarkan. Jika dalam konsep PBKB yang disusun oleh Puskur terdapat 18 nilai, maka dalam perspektif al-Qur’an jauh melebihi angka tersebut. Namun untuk memudahkan penanaman nilai tersebut, perlu dirumuskan secara sederhana sesuai dengan tingkat pendidikan itu sendiri. Paling tidak nilai-nilai itu bisa dikelompokkan dalam empat hal. Pertama, nilai yang terkait dengan hablun minallah (hubungan seorang hamba kepada Allah), seperti ketaatan, keikhlasan, syukur, sabar, tawakal, mahabbah, dan sebagainya. Kedua, nilai hablun minannas, yaitu nilai-nilai yang harus dikembangkan seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia, seperti tolong-menolong, empaty, kasih-sayang, kerjasama, saling mendoakan dan memaafkan, hormat-menghormati, dan sebagainya. Ketiga, nilai yang berhubungan dengan hablun minannafsi (diri sendiri), seperti: kejujuran, disiplin, amanah, mandiri, istiqamah, keteladanan, kewibawaan, optimis, tawadhu’, dan sebagainya. Dan keempat, nilai hablun minal-‘alam (hubungan dengan alam sekitar), seperti: keseimbangan, kepekaan, kepeduliaan, kelestarian, kebersihan, keindahan, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut mesti dikembangkan lebih lanjut dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an. Nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an itu sesungguhnya memiliki makna yang lebih luas, kompleks dan aplikatif jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang muncul dari hasil pikiran manusia. Misalnya, nilai istiqamah jauh lebih luas dari nilai komitmen dan konsisten. Begitu pula makna ikhlash jauh lebih mendalam dibandingkan dengan makna rela berkorban. Bahkan istilah akhlak pun jauh lebih kompleks dibanding dengan istilah moral dan etika. Dan masih banyak contoh lainnya. Adapun bentuk pelaksanaannya, bisa menyesuaikan dengan konsep pengembangan pendidikan karakter sebagaimana yang disusun oleh Puskur. Beberapa nilai yang telah dirumuskan dapat dikembangkan melalui kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler atau pengembangan diri dan budaya sekolah. Pada kegiatan intrakurikuler, nilai-nilai tersebut harus dirumuskan dalam bentuk “Indikator Penanaman Nilai” oleh guru dalam rencana pembelajarannya untuk diintegrasikan dengan materi tiap mata pelajaran. Dengan begitu tak satu pun materi yang bebas dari nilai. Selain itu, proses pembelajarannya pun sebaiknya diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, ayat-ayat al-Qur’an akan menjadi basis terhadap suatu ilmu sehingga siswa tidak saja memperoleh pengetahuan, tetapi diharapkan memperoleh keberkahan dari ilmu itu sendiri. Pada kegiatan ekstrakurikuler, mesti dikembangkan kegaitan-kegiatan yang relevan dengan nilai-nilai al-Qur’an. Kegiatan-kegiatan yang bertentangan, seperti kegiatan yang memperlihatkan aurat, pelaksanaan kegiatan yang mengabaikan waktu shalat, dan sebagainya mestilah ditinggalkan. Sebaliknya, kegiatan-kegaitan yang langsung bersentuhan dengan al-Qur’an mesti menjadi prioritas. Misalnya, Tahsin Qur’an, Tilawah al-Qur’an, Tahfizh al-Qur’an, Seni Kaligrafi, Muhadharah, dan lainnya. Sedangkan penanaman nilai pada budaya sekolah harus dirumuskan dalam bentuk beberapa aturan sehingga terjadi proses pembiasaan dan pembudayaan. Seperti tadarus di awal pembelajaran, setiap guru membuka pelajaran dengan membaca surat-surat pendek, membudayakan ucapan salam, mengedepankan keteladanan, malu melanggar peraturan, menjalin interaksi dengan kasih sayang, menjaga kebersihan dan sebagainya. Dalam hal ini, pemberian reward (penghargaan) lebih dikedepankan dari pada punishment (hukuman). Proses pembelajaran al-Qur’an pun harus dilakukan secara kontiniu dan sistematis. Peserta didik harus dibimbing untuk membaca, memahami dan berupaya untuk mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Peserta didik juga dituntut untuk menghafal ayat-ayat al-Qur’an. Bukankah Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya (hatinya) tidak ada bacaan Al-Qur`an (yakni tidak memiliki hafalannya) ibarat sebuah rumah yang hendak roboh. (HR. At-Tirmidzi, dan lainya). Tidak saja upaya dari sekolah, orang tua di lingkungan rumah tangga, menjadi pelopor utama dalam pembentukan karakter berbasis al-Qur’an. Orang tua juga dituntut untuk menanamkan kecintaan terhadap al-Qur’an kepada anak-anaknya sedini mungkin. Itu sebabnya seorang ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk banyak membaca al-Qur’an. Kelak si anak telah pandai membaca al-Qur’an, orang tua pun diminta untuk tadarus bersama anak-anaknya. Sungguh tepat kebijakan Kementerian Agama RI tentang program “Gemmar (Gerakan Maghrib) Mengaji”. Dan program ini sejatinya didukung oleh para orang tua. Demikian halnya masyarakat, diharapkan berperan aktif mengkaji al-Qur’an dan berupaya untuk menjadikannya sebagai karakter diri dan masyarakat sekitarnya. Jika sekolah mau dan bertekad menjadikan al-Qur’an sebagai basis dari pelaksanaan pendidikan karakter, maka niscaya ketenangan dan keberkahan akan dilimpahkan Allah kepada mereka. Sabdanya: Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah Azza wa Jalla untuk membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah (ketenangan) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan para malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mereka (orang yang ada dalam majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisi-Nya (HR. Muslim). Kini, dibutuhkan niat, dukungan, dan komitmen dari berbagai pihak yang masih mengakui al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya; baik dari kalangan pemerintah, kaum intelektual, praktisi pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk merumuskan pendidikan karakter berbasis al-Qur’an. Jika tidak, maka al-Qur’an hanya sebagai hiasan lemari dan tercerabut dari hati sanubari. Wallahu a’lam.

0 Comments:

Post a Comment