"Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim AS"

Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim AS “Sabar itu pahit melebihi empedu; tetapi hasilnya manis melebihi madu”. Demikian pernyataan bijak memotivasi kita untuk bersabar dalam hidup ini. Kata sabar memang semakin populer ketika bangsa ini dihimpit oleh berbagai bencana. Banjir bandang di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai serta letusan gunung merapi di perbatasan Yogyakarta dan Jateng menjadi duka nasional yang memprihatinkan. Rentetan musibah yang datang menjelang hari raya besar umat Islam, Idul Adha, mengingatkan kita kembali kepada sosok Nabi Ibrahim As sebagai sang teladan. Ada dua Nabi yang ditegaskan Allah sebagai uswatun hasanah dalam al-Qur’an, yaitu Nabi Muhammad SAW (al-Ahzab/33: 21) dan Nabi Ibrahim as (Qs. Al-Mumtahanah/60: 4). Banyak hal yang dapat diteladani dari Nabi Ibrahim, salah satu di antaranya adalah sifat sabar. Paling tidak ada tiga fase perjuangan dalam hidup Nabi Ibrahim as yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Pertama, upaya menemukan keyakinan yang benar (tauhid). Awalnya, Ibrahim dibesarkan dalam keluarga yang menyembah berhala. Bahkan ayahnya pemahat patung yang disembah oleh masyarakat setempat. Ibrahim pun melakukan pemberontakan terhadap apa yang disembah oleh ayah dan kaumnya. Pencarian awal masih bersifat empiris di mana ketika malam tiba, ia menyaksikan bintang-bintang yang gemerlapan. Muncullah ketakjuban dalam dirinya sehingga ia menyangka jika bintang itu adalah tuhan. Namun tatkala bintang-bintang itu sirna ia bergumam, “Aku tidak suka kepada Tuhan yang tenggelam”. Lalu ia melihat bulan dengan sinarnya yang indah dan cemerlang. Lantas ia pun berpikir inilah tuhanku. Akan tetapi bulan itu pun tenggelam lalu ia berkata “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Keesokan harinya ia melihat matahari bersinar terang, dia pun berkata “inilah tuhanku, sebab ini lebih besar”. Lagi-lagi benda yang ia anggap tuhan itu tenggelam di ufuk Barat. Pencarian Tuhan yang ia lakukan berakhir dengan adanya petunjuk (hidayah) dari Allah. Ia pun menyimpulkan dan berikrar, “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mentaati) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik”. (lihat kisah ini dalam QS. Al-An’am/6: 76-78). Inilah awal perjuangan yang berat dialami oleh Nabi Ibrahim. Suatu perjuangan yang mendobrak tradisi bahkan keyakinan yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakatnya. Konsekuensinya adalah Ibrahim dibenci, termasuk oleh ayah yang dikasihinya. Bahkan sang ayah mengancam akan merajam dan akhirnya mengusir Ibrahim pada waktu yang lama (QS. Maryam/19: 42-46). Suatu perjuangan yang amat pahit, dengan kesabaran dalam menemukan hakikat kebenaran, akhirnya membuahkan hasil yang gemilang; itulah hidayah dari Allah. Bahkan, ia pun diangkat sebagai Rasulullah (QS. Al-Baqarah/2: 124). Kedua, memperjuangkan akidah dan berhadapan dengan Namrud. Sebagai seorang Nabi, Ibrahim pun mengajak kaumnya untuk menyembah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Ia tetap melakukan dialog yang argumentatif untuk meyakinkan kaumnya. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tetap berpegang teguh kepada ajaran nenek moyangnya. Menyikapi kondisi itu, Nabi Ibrahim AS membuat siasat untuk menyadarkan kaumnya. Suatu ketika ia memasuki biara tempat patung-patung dikumpulkan dan dipuja. Ia menghancurkan patung-patung itu berkeping-keping, kecuali yang terbesar dibiarkan tetap utuh untuk memancing mereka agar bertanya. Namun upaya yang terkesan dengan cara “kekerasan” itu tidak membuahkan hasil yang gemilang. Ibrahim yang telah dicurigai sebagai pelaku penghancuran berhala itu menjawab pertanyaan mereka: “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara”. Awalnya, jawaban itu memang membuat mereka terpana dan menundukkan kepala. Mereka pun berkata: “Engkau pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara?”. Ibrahim menjawab: “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?” Akan tetapi mereka bukan tunduk, malah sebaliknya semakin berang dan berteriak: “Bakar Ibrahim, bantulah tuhan kalian.” Mereka pun membakar tubuh Ibrahim di antara tumpukan kayu bakar. Kesabaran yang begitu kuat di dada Ibrahim tidak membuatnya surut menegakkan kebenaran, meskipun nyawa taruhannya. Lagi-lagi sifat sabar yang pahit itu berbuah hasil yang manis. Api yang sifatnya membakar tiba-tiba keluar dari hukumnya; api panas dan membakar kayu, tetapi tidak membakar tubuh Ibrahim (QS. Al-Anbiya’/21: 52-70). Api yang merupakan makhluk Allah yang senantiasa tunduk kepada hukum Allah segera mematuhi perintah Allah agar dingin dan menyelamatkan tubuh Ibrahim, sebab Ibrahim adalah makhluk Allah yang taat. Ketiga, Nabi Ibrahim as menginginkan seorang anak. Hampir seabad usia Nabi Ibrahim, namun ia belum juga dianugerahkan seorang anak. Karena besarnya keinginan itu, ia pun mengikuti keinginan istrinya, siti Sarah, agar menikahi pembantunya, Siti Hajar. Bagi Ibrahim, beristri dua bukan karena syahwat, tetapi menginginkan keturunan yang shaleh, yang diharapkan kelak melanjutkan perjuangannya dalam menegakkan agama tauhid. Allah pun menganugerahkan seorang anak yang berkarakter halim (QS. Al-Shaffat 101), yang diberi nama Isma’il. Namun, anak yang berpuluh tahun dinanti kelahirannya, ketika tampak sifatnya yang mulia lagi cerdas, Allah malah menguji cinta Nabi Ibrahim; apakah lebih mencintai Isma’il atau tuhannya? Allah pun memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ibrahim melalui mimpinya (QS. Al-Shaffat/37: 102). Suatu ujian yang sangat mengguncang batin; sulit dilakukan oleh orang tua dimana pun. Dengan sabar, Ibrahim menjalankan perintah itu demi cintanya kepada Allah. Tapi cintanya kepada Allah tidaklah sia-sia. Sebelum penyembelihan itu terjadi, Allah mengganti tubuh Isma’il dengan seekor sembelihan (kibas/kambing). Peristiwa ini menjadi amal yang disyari’atkan kepada umat Muhammad berupa penyembelihan hewan kurban di bulan haji. Tiga fase perjuangan Nabi Ibrahim as di atas sesungguhnya ujian yang berat ditimpakan Allah kepadanya. Namun, dengan keimanan dan kesabaran yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim, perjuangan itu berbuah hasil yang menggembirakan. Inilah yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman lagi sabar, mereka dilimpahkan keselamatan, kasih sayang (rahmat), dan hidayah (Qs. Al-Baqarah/2: 157). Jika kita merujuk pendapat Imam al-Ghazali, ada tiga bentuk kesabaran yang mesti dimiliki oleh setiap muslim, yaitu: sabar dalam ketaatan, sabar dalam kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Tampaknya ketiga bentuk kesabaran ini dimiliki oleh Nabi Ibrahim. Sabar dalam ketaatan, ia siap menyembelih putra kesayangannya demi mematuhi peraturan Allah. Sabar dalam kemaksiatan, ia terhindar dari penyembahan terhadap berhala meski dibenci dan dimusuhi oleh banyak orang. Begitu pula sabar dalam musibah, ia tetap sabar menunggu berpuluh tahun kelahiran putranya hingga di usia relatif senja. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW; kita patut meneladani kesabaran Nabi Ibrahim as. Sudah seberapa besar tingkat kesabaran kita dalam menghadapi berbagai musibah/ujian yang diberikan Allah. Sudah seberapa pula pengorbanan yang kita lakukan untuk memperjuangkan aqidah dan menebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat? Sepahit apa pun musibah yang menimpa kita, terutama berbagai bencana alam yang ada; maka kesabaran menjadi kunci utama. Sabar bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Sabar hendaknya menjadi muatan nurani, kekuatan batin yang memotivasi hidup agar tetap optimis dan punya semangat juang yang tinggi dalam menjalani hidup ini sesuai petunjuk Ilahi. Perkuat keimanan, perdalam ilmu pengetahuan, perbanyak menebar kabaikan, insya Allah ada hikmah besar di balik bencana bagi bangsa ini. Ingatlah, kesabaran tidak akan disia-siakan oleh Allah Yang Maha Sabar (ash-Sabur). Wallahu a’lam.

0 Comments:

Post a Comment