1. Latar Belakang

Manusia memperoleh sebagaian besar dari kemampuannya melalui belajar. Belajar adalah suatu peristiwa yang terjadi didalam kondisi-kondisi tertentu yang dapat diamati, diubah dan dikontrol (Robert M. Gagne, 1977). Kemampuan manusia yang dikembangkan melalui belajar yaitu: pertama; ketrampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, ketrampilan motorik, dan sikap.

Pendidik dituntut untuk menyediakan kondisi belajar untuk peserta didik untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu yang harus dipelajari oleh subyek didik. Dalam hal ini peranan desain pesan dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena desain pesan pembelajaran menunjuk pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola atau signal dan lambang yang dapat digunakan untuk menyediakan kondisi untuk belajar.

Belajar itu menyenangkan. Tapi, siapa yang menjadi stakeholder dalam proses pembelajaran yang menyenangkan itu? Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bisa meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk belajar yang berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan proses belajar, faktor motivasi merupakan kunci utama. Seorang guru harus mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa memiliki berbagai macam motif dalam belajar. Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang baik terkait dengan motivasi “mengapa siswa belajar”, yaitu (1) motivasi intrinsik (siswa belajar karena tertarik dengan tugas-tugas yang diberikan), (2) motivasi instrumental (siswa belajar karena akan menerima konsekuensi: reward atau punishment), (3) motivasi sosial (siswa belajar karena ide dan gagasannya ingin dihargai), dan (4) motivasi prestasi (siswa belajar karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya.

Dalam paradigma baru pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental profesional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to learn) dan bukan hanya semata pada mempelajari substansi mata pelajaran. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan skenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu/kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental profesional, yang disebut researchmindedness dalam pola pikir siswa, sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.

Makalah ini akan diuraikan tentang aplikasi desain pesan dalam model pembelajaran PAIKEM yang menekankan pada aspek pemerolehan kemampuan berdasarkan teori Gagne yaitu ketrampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, ketrampilan motorik, dan sikap.

BAB II

KERANGKA PAIKEM, SETS DAN CTL

A. Konsep Model Pembelajaran PAIKEM

PAIKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain.

Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (“time on task”) tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.

PAIKEM merupakan sebuah model pembelajaran kontekstual yang melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses pembelajarannya. Pertama, proses Interaksi (siswa berinteraksi secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi-media, referensi, lingkungan dsb). Kedua, proses Komunikasi (siswa mengkomunikasikan pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain melalui cerita, dialog atau melalui simulasi role-play). Ketiga, proses Refleksi, (siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan). Keempat, proses Eksplorasi (siswa mengalami langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan, penyelidikan dan/atau wawancara).

Pelaksanaan Paikem harus memperhatikan bakat, minat dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya. Dalam pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum Learning) ada tiga macam modalitas siswa, yaitu modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Dengan modalitas visual dimaksudkan bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera ‘mata’ (membaca teks, grafik atau dengan melihat suatu peristiwa), kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi, dengan memahami kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka seorang guru harus mampu merancang media, metoda/atau materi pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar siswa.

Secara garis besar, PAIKEM dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAIKEM

a. Memahami sifat yang dimiliki anak

Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat anugerah Tuhan tersebut. Suasana pembelajaran yang ditunjukkan dengan guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.

b. Mengenal anak secara perorangan

Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga anak tersebut belajar secara optimal.

c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar

Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorga-nisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.

d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah

Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal tersebut memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sesering-seringnya memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).

e. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik

Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disaran-kan dalam PAIKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam KBM karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.

f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar

Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) me-rupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat ber-peran sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Peng-gunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan ling-kungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pe-manfaatan lingkungan dapat mengembang-kan sejumlah keterampilan seperti meng-amati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.

g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar

Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.

h. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental

Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling ber-hadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAIKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAIKEM.’

i. Pengelolaan Kelas PAIKEM

Seting kelas yang konstruktif didasarkan pada nilai-nilai konstruktif dalam proses belajar, termasuk kolaborasi, otonomi individu, refleksi, relevansi pribadi dan pluralisme. Seting kelas yang konstruktif akan memberikan kesempatan aktif belajar. Mengacu pada pendekatan holistik dalam pendidikan, seting kelas konstruktif merefleksikan asumsi bahwa proses pengetahuan dan pemahaman akuisisi adalah benar-benar melekat pada konteks sosial dan emosional saat belajar. Karakteristik seting kelas konstruktif untuk belajar adalah terkondisikannya belajar secara umum, instruksi, dan belajar bersama.

Lima metode kunci untuk merancang seting kelas yang konstruktif , yaitu:

1) melindungi pemelajar dari kerusakan praktik instruksional dengan mengembangkan otonomi dan kontrol pemelajar, mendorong pengaturan diri dan membuat instruksi secara pribadi yang relevan dengan pemelajar,

2) menciptakan konteks belajar yang mendorong pengembangan otonomi pribadi

3) mengkondisikan pemelajar dengan alasan-alasan belajar dalam aktivitas belajar

4) mendorong pengaturan diri dengan pengembangan keterampilan dan tingkah laku yang memungkinkan pemelajar meningkatkan tanggung jawab dalam belajarnya; dan

5) mendorong kesadaran belajar dan pengujian kesalahan (Hadi Mustofa, 1998).

Penataan dan atau pengelolaan kelas dalam PAIKEM perlu mempertimbangkan enam elemen Constructivist Learning Design (CDL) yang dikemukakan oleh Gagnon and Collay, yaitu situation, groupings, bridge, questions, exhibit, and reflections. Situation, terkait dengan hal-hal berikut; apa tujuan episode pembelajaran yang akan dicapai, apa yang diharapkan setelah siswa keluar ruangan kelas, bagaimana mengetahui bahwa siswa telah mencapai tujuan, tugas apa yang diberikan kepada siswa untuk mencapai tujuan, bagaimana deskripsi tugas tersebut (as a process of solving problems, answering question, creating metaphors, making decisions, drawing conclusions, or setting goals).

Grouping, dapat dilakukan berdasarkan karakteristik siswa atau didasarkan pada karakteristik materi. Bridge, terkait dengan; aktivitas apa yang dipilih untuk menjembatani atara pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya dengan pengetahuan baru yang akan dibangun siswa.

Question, pertanyaan apa yang dapat membangkitkan tiap elemen desain (panduan pertanyan apa yang dapat mengintrodusir situasi, menata pengelompokan, dan membangun jembatan), pertanyaan klarifikasi apa yang digunakan untuk menengetahui cara berpikir dan aktivitas belajar siswa.

Exhibit, bagaimana siswa merekan dan memamerkan kreasi mereka melalui demonstrasi cara berpikir mereka dalam menyelesaikan dan atau memenuhi tugas.

Reflections, bagaimana siswa melakukan refleksi dalam menyelesaikan tugas mereka, apakah siswa ingat tentang (feeling, images, and language of their thought), apa sikap, proses, dan konsep yang akan dibawa siswa setelah keluar kelas.

B. Konsep Pendekatan SETS (Sains Environment Technology and Society)

Pendekatan sains-teknologi-masyarakat (SETS = science, environment, technology, society) me­rupakan salah satu model atau pendekatan untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan sains yang cepat dan menjawab perubahan para­digma di atas. Pendekatan SETS pada awalnya dikembangkan untuk pembelajaran sains, khususnya sains alam, walaupun dapat dikaji penggunaannya pada pembela­jaran bidang-bidang lain.

Kerangka pembelajaran SETS yang menempatkan tanggung jawab sosial sebagai tujuan utama dalam pembelajaran sains, akhirnya menuntut perubahan tidak hanya pada metode pembelajaran di kelas, tetapi juga perubahan mendasar pada kurikulum. Beberapa negera telah berusaha menempatkan pembelajaran berbasis SETS dalam kurikulum sekolah menengah mereka, seperti Kanada(4) dan Australia, tetapi beberapa laporan menyebutkan bahwa tidaklah mudah untuk akhirnya benar-benar diterapkan di kelas, karena diperlukan pengenal­an yang intensif kepada guru-guru sekolah menengah.

Walaupun para pendukung pembelajaran SETS selalu menekankan pentingnya perubahan standar atau kurikulum, pada artikel ini, tidak akan dibahas pendidikan berbasis salingtemas yang memer­lukan penyesuaian standar isi. Pembelajaran salingtemas hanya akan dibahas dalam konteks me­tode atau model pembelajaran, untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan dalam kurikulum yang ada. Dengan demikian, semangat dalam penerapan pembelajaran berbasis SETS yang diangkat dalam artikel ini hanyalah untuk tujuan melek sains, atau tujuan pe­ningkatan motivasi dan pe­mahaman peserta didik dalam pembelajaran sains, atau paling jauh bisa mewarnai penyusunan kurikulum di tingkat satuan pendidikan.

1. Visi, Misi, dan Tujuan Pembelajaran dengan Pendekatan SETS

Visi, misi, dan tujuan pendekatan SETS sekurang-kurangnya dapat membuka wawasan peserta didik untuk memahami hakikat pendidikan sain, lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara utuh. Maksudnya ialah bahwa visi dan misi pendekatan SETS ditujukan untuk membantu peserta didik mengetahui sain dan bagaimana perkembangan sain dapat mempengaruhi lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara timbal balik.

Ada dua visi dan tujuan pendekatan SETS dalam pendidikan seperti dikutip oleh Pedersen dari tulisan NSTA, yaitu:

1) SETS melibatkan peserta didik dalam pengalaman dan isu-isu/masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka; dan

2) SETS memberdayakan peserta didik dengan berbagai keterampilan sehingga mereka menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan lebih aktif merespons isu/masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka (Pedersen, 1992:26). Program SETS telah menjadi suatu gerakan dalam pendidikan sain di negara-negara yang telah maju, bertujuan mengintegrasikan sain, lingkungan, dan teknologi dengan kehidupan masyarakat (Yager & Roy, 1993:7).

Sementara dalam Diwa Learning System (Gregorio, 1991:37) dinyatakan bahwa:

1) SETS merupakan suatu perubahan penekanan dalam pengajaran sains di sekolah, dan bukan evolusi dalam pengajaran sains;

2) tujuannya adalah humanisasi pengajaran sain dengan menempatkannya dalam konteks sosial dan teknologi, dan bukan memandang sains sebagai tujuan yang terlepas dari atau di luar pengalaman sehari-hari;

3) SETS merupakan suatu pendekatan pembelajaran untuk sains yang disesuaikan dengan kecakapan kelompok, dan bukan melemahkan atau menghambat perkembangan sains;

4) SETS merupakan suatu program atau kurikulum sains, dan bukan sains itu sendiri; dan

5) SETS merupakan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner, dan bukan suatu disiplin atau ruang lingkup pelajaran.

Berhubungan dengan visi dan tujuan-tujuan Pendekatan SETS, Gregorio (1991:40) mengungkapkannya dengan suatu kalimat yang diletakkan di antara dua tanda kutip, yakni “Give a man a fish, and he will survive for a day, but teach him how to culture fish, and he will survive a lifetime”. Sedangkan Yager (1993:13) menyatakan bahwa salah satu tujuan pokok dari pendekatan SETS adalah mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan pemecahan isu-isu/masalah-masalah yang telah diidentifikasi. Demikian halnya Gregorio (1991:39) menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains dengan Pendekatan SETS, peserta didik diikutsertakan dalam aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara Rosenthal (Lo, 1991:146) menyatakan bahwa isu-isu sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan dalam pembelajaran sain yang didasarkan pada aspek-aspek sosial dari sain. Sejalan dengan pernyataan Heath (Heath, 1992:55) bahwa isu-isu atau masalah-masalah dalam masyarakat dapat menjadi suatu basis pembelajaran dengan pendekatan SETS sekaligus sebagai “perekat” yang membolehkan integrasi belajar dan mengajar lintas disiplin ilmu dalam upaya membantu peserta didik dan warga negara untuk menyadari dan memahami adanya interaksi antara sain, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

Tujuan utama pendidikan dengan Pendekatan SETS adalah mempersiapkan peserta didik menjadi wagra negara dan warga masyarakat yang memiliki suatu kemampuan dan kedasaran untuk:

1) menyelidiki, menganalisis, memahami dan menerapkan konsep-konsep/prinsip-prinsip dan proses sain dan teknologi pada situasi nyata

2) melakukan perubahan

3) membuat keputusan-keputusan yang tepat dan mendasar tentang isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi yang memiliki komponen sain dan teknologi

4) merencanakan kegiatan-kegiatan baik secara individu maupun kelompok dalam rangka pengambilan tindakan dan pemecahan isu-isu atau masalah-masalah yang sedang dihadapi

5) bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dan tindakannya

6) mempersiapkan peserta didik untuk menggunakan sain bagi pengembangan hidup dan mengikuti perkembangan dunia teknologi,

7) mengajar para peserta didik untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu lingkungan, teknologi, atau masyarakat

8) mengidentifikasi pengetahuan fundamental sehingga peserta didik secara tuntas memperoleh kepandaian dengan isu-isu SETS

Dengan demikian, ada beberapa aspek yang perlu mendapat penekanan dan dipresentasikan secara proporsional dan terintegrasi dalam pembelajaran sains di sekolah dengan pendekatan SETS, yaitu:

1) kemampuan peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada alam dan menemukan jawabannya;

2) kemampuan peserta didik mengidentifikasi isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat dan berupaya memecahkannya;

3) penguasaan pengetahuan ilmiah (sains) dan

4) keterampilan (teknologi) dan berupaya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari;

5) mempertimbangkan nilai-nilai dan konteks sosial budaya masyarakat; dan

6) pengembangan sikap, nilai-nilai sosial budaya lokal, personal, dan global.

2. Ruang Lingkup Pembelajaran dengan Pendekatan SETS

Menurut Yager & McCormack (Yager, 1996b:3-4; 1992b:5-6), ada enam domain utama SETS untuk pengajaran dan penilaian, yaitu domain konsep, proses, kreativitas, sikap, aplikasi, dan keterkaitan. Keenam domain tersebut selanjutnya dinyatakan dalam Gambar 2.

3. Enam Domain SETS untuk Pengajaran dan Penilaian

Domain konsep meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, hukum (prinsip-prinsip), serta teori dan hipotesis yang digunakan oleh para saintis. Domain ini dapat juga disebut rana pengetahuan ilmiah/sain atau aspek minds-on/brains-on dalam belajar sain (Glynn & Duit, 1995; Butts & Hofman, 1993).

Domain proses meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan sbagaimana para saintis berpikir dan bekerja, misalnya melakukan observasi dan eksplanasi; pengklasifikasian dan pengorganisasian data; pengukuran dan pembuatan grafik; pemahaman dan berkomunikasi; penyimpulan dan prediksi; perumusan dan pengujian hipotesis; identifikasi dan pengontrolan variabel; penginterpretasian data/informasi; pembuatan instrumen dan alat-alat sederhana; serta pemodelan. Domain ini dapat dibedakan antara keterampilan proses dasar (observasi, pengukuran, klasifikasi, prediksi, komunikasi, dan inferensi) dan keterampilan proses terintegrasi (perumusan/pengujian hipotesis, interpretasi data/informasi, dan pemodelan), atau aspek hands-on belajar sain (Rossman, 1993; Butts & Hofman, 1993; Hausfather, 1992; Pedersen, 1992; Alvarez, 1991; Glasson, 1989).

Domain kreativitas meliputi: visualisasi-produksi gambaran mental; pengkombinasian objek dan ide atau gagasan dalam cara baru; memberikan eksplanasi terhadap objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai; mengajukan pertanyaan; menghasilkan alternatif atau menggunakan objek/ide yang luar biasa; menyelesaikan masalah dan hal-hal yang membingungkan atau menjadi teka-teki; merancang alat; menghasilkan ide-ide yang luar biasa; serta menguji alat baru untuk eksplanasi yang dibuat.

Domain sikap meliputi: pengembangan sikap positif terhadap guru-guru dan pelajaran sain di sekolah, kepercayaan diri, motivasi, kepekaan, daya tanggap, rasa kasih sayang sesama manusia, ekspresi perasaan pribadi, membuat keputusan tentang nilai-nilai pribadi, serta membuat keputusan-keputusan tentang isu-isu lingkungan dan sosial. Sejalan dengan pernyataan Alvarez (1991:80) bahwa sikap adalah prilaku yang diadaptasi dan diterapkan pada situasi khusus, dapat berupa minat/perhatian, apresiasi, suka, tidak suka, opini, nilai-nilai, dan ide-ide dari seseorang.

Dalam literatur sain dibedakan antara sikap terhadap sain dan sikap ilmiah (Shibeci, 1984; Aiken & Aiken, 1969; Gardner, 1975). Sikap terhadap sain dihubungkan dengan reaksi emosional terhadap perhatian/minat peserta didik, kebingungan dan kesenangan pada sain, perasaan, dan nilai-nilai dalam kelas. Sedangkan sikap ilmiah mencakup karakter sifat ilmiah yang lainnya, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keingintahuan (Alvarez, 1991:80).

Domain aplikasi dan keterkaitan meliputi: melihat/menunjukkan contoh konsep-konsep ilmiah dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep-konsep sain dan keterampilan pada masalah-masalah teknologi sehari-hari; memahami prinsip-prinsip ilmiah dan teknologi pada alat-alat teknologi yang ada dalam rumah tangga; menggunakan proses ilmiah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari; memahami dan mengevaluasi laporan media massa tentang perkembangan ilmiah; membuat keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pribadi, nutrisi, dan gaya hidup yang didasarkan pada pengetahuan ilmiah; dan mengintegrasikan sain dengan pelajaran lain.

4. Ragam Pendekatan SETS

Pendekatan SETS bisa amat beragam, mulai dari yang mengangkat topik atau isu sebagai payung pembelajaran lebih dari satu bidang, mulai dari Fisika, Kimia dan Ilmu Sosial, atau penggunaan isu lingkungan untuk pembahasan satu bab saja dalam Kimia, misalnya. Secara garis besar, berdasarkan cakupannya, kita bisa melakukan beragam pendekatan STM, antara lain:

1) Menempatkan pembelajaran bab tertentu bidang tertentu dalam konteks sains, teknologi dan masyarakat.

2) Pendekatan SETS untuk pembelajaran lintas bab pada satu mata pelajaran.

3) Pendekatan SETS untuk pembelajaran lintas mata pelajaran.

4) Pendekatan SETS dengan perluasan tujuan instruksional secara eksplisit di luar tuntutan standar kompetensi yang tertulis di kurikulum dari mata-mata pelajaran yang terlibat dalam pembelajaran STM tersebut, seperti kepekaan terhadap permasalahan lingkungan, atau pengenalan dampak sains dan teknologi pada pranata sosial, dll.

5) Pendekatan SETS yang disertai kerja nyata di masyarakat, seperti gerakan penyelamatan lingkungan, dll.

Pada pembelajaran bab tertentu dengan pendekatan SETS, guru memulai dengan suatu topik dari lingkungan peserta didik yang berkaitan dengan materi bab tersebut. Untuk pembelajaran lintas bab, tentunya perlu persiapan yang lebih matang pada pemilihan topik dan penelusuran target kompetensi dasar yang bisa diikutsertakan lewat pembelajaran di bawah payung topik itu.

Untuk pembelajaran lintas mata-pelajaran lewat pembelajaran berbasis SETS, diper­lukan koordinasi guru beberapa bidang yang relevan. Pendekatan ini akan berguna sebagai wahana integrasi pengetahuan peserta didik. Pemahaman peserta didik terhadap mata pelajaran tidak lagi terkotak-kotak, melainkan saling bertautan dan terpadu, yang amat berguna bagi peserta didik dalam memahami realitas kehidupan.

Jika pembelajaran berbasis salingtemas diharapkan memunculkan kompetensi lain di luar kompetensi dasar yang tertulis dalam kurikulum saat ini, maka agar pencapaiannya optimal diperlukan penyesuaian standar nasional (khususnya standar isi) agar dapat mencakup semangat ini. Dalam hal ini, salingtemas tidak lagi sekedar metode pembelajaran, melainkan paradigma baru yang diharapkan menjiwai keseluruhan kurikulum. Sejauh pemahaman penulis, pada pengembangan pem­belajaran salingtemas, Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas membatasi diri pada pe­ngembangan metode atau model pembelajaran inovatif yang dapat memberi nilai tambah pada kurikulum tingkat satuan pendidikan, dengan target kompetensi dasar seperti yang tertulis dalam standar isi yang berlaku saat ini. Artikel ini juga membatasi pembahasan dalam konteks tersebut.

C. Strategi Pembelajaran CTL

Contextual Teaching Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami :

1) CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman langsung sehingga siswa mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

2) CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara meteri yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata.

3) CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut terdapat lima karakteristik penting dari CTL yaitu:

1) Activiting knowledge, dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang telah ada.

2) Acquiring know;edge, CTL adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru.

3) Understanding knowledge, pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.

4) Applying knowlwdge, pengetahuan dan pengalaman yang yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.

5) Reflecting knowledge, melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Anak belajar IPA, ketika anak melakukan :

1) Observing (menggunakan semua indera, mengamati bagian-bagian

2) daun, menggunakan lensa pembesar untuk mengamati bagian-bagian daun)

3) Sorting and Grouping (membandingkan, mengelompokkan,

4) melihat pola persamaan/perbedaan, anak mengelompokkan benda-benda sekitar sekolah kedalam kelompok makhluk hidup dan tak hidup)

5) Raising questions (bertanya, manakah yang termasuk biji,daging buah?, manakah yang termasuk makhluk tak hidup?, mengapa daun berwarna hijau?)

6) Predicting (making hypotheses, membuat hipotesis, saya kira/ berpikir/berpendapat bahwa gula lebih cepat larut daripada garam, saya kira kelarutan zat dipengaruhi oleh pengadukan,…)

7) Testing (eksplorasi, investigasi, memberi perlakuan), contoh: siswa melarutkan gula kedalam air, melarutkan garam ke dalam air, memberi perlakuan pengadukan, suhu air dijaga tetap, …)

8) Recording (merekam, mengumpulkan data, mengumpulkan informasi, memasukkan data kedalam tabel, gambar, …)

9) Interpreting findings (membuat grafik pengamatan, menganalisis hasil)

10) Communicating (melaporkan, mendiskusikan temuan dengan guru, mendiskusikan dengan teman, melaporkan hasil, memajang hasil temuan

BAB III

IMPLEMENTASI S PAIKEM, SETS DAN CTL

A. Implementasi Model Pembelajaran PAIKEM

1. Desain Pesan Pembelajaran PAIKEM

Kata desain menunjukkan adanya suatu proses dan suatu hasil. Sebagai suatu proses, desain pesan sengaja dilakukan mulai dari analisis masalah pembelajaran hingga pemecahan masalah yang disumuskan dalam bentuk produk. Produk yang dihasilkan dapat dalam bentuk prototipe, naskah atau stori board, dan sebagainya.

Mengenai desain pesan, desain pesan meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan atau informasi. Hal tersebut mencakup prinsip-prinsip perhatian, persepsi, dan daya serap yang mengatur penjabaran bentuk fisik dari pesan atau informasi, agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima. Fleming dan Levie (dalam Seel&Richie,1994) membatasi pesan pada pola-pola isyarat atau simbol yang memodifikasi perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Desain pesan berurusan dengan tingkat paling mikro melalui unit-unit kecil seperti bahan visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah.

Karakteristik lain dari desain pesan adalah bahwa desain pesan harus bersifat spesifik baik terhadap medianya maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung arti bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda tergantung apakah medianya bersifat statis, dinamis atau kombinasi dari keduanya, misalnya suatu potret, film, atau grafik komputer. Juga apakah tugas belajarnya berupa pembentukan konsep atau sikap, pengembangan ketrampilan atau strategi belajar, ataukah menghafalkan informasi verbal.

2. Prinsip-prinsip Desain Pembelajaran

Berdasarkan pada pembahasan tentang teori-teori belajar kognitif dan teori pemrosesan informasi serta teori komunikasi, dapat dikembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan desain pesan pembelajaran. Ada lima prinsip utama desain pesan pembelajaran yaitu:

a . Prinsip kesiapan dan motivasi

Prinsip ini mengatakan bahwa jika dalam kegiatan pembelajaran siswa/peserta belajar memilki kesiapan seperti kesiapan mental, serta kesiapan fisik dan motivasi tinggi, maka hasil belajar akan lebih baik..

Kesiapan mental diartikan sebagai kesipan kemampuan awal, yaitu pengetahuan yang telah dimiliki siswa belajar yang dapat dijadikan pijakan untuk mempelajari materi baru. Oleh sebab itu, dalam menyusun desain pesan, guru harus lebih dahulu mengetahui kesiapan siswa melalui tes penjajagan atau tes prasayarat belajar yang diberikan pada siswa. Jika diketahui pengetahuan awal siswa belum mencukupi, maka dapat diadakan pembekalan/matrikulasi.

Sedangkan kesiapan fisik, berarti bahwa siswa dalam melakukan kegiatan belajar tidak mengalami kekurangan atau halangan, sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Misalnya untuk belajar musik siswa tidak boleh terganggu pendengarannya. Sedangkan motivasi adalah merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dorongan itu bisa berasal dari dalam atau luar. Semakin tinggi motivasi siswa untuk belajar, semakin tinggi pula proses dan hasil belajarnya. Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran hendaknya guru berupaya mendorong motivasi siswa dengan menunjukkan pentingnya mempelajari pesan pembelajaran yang sedang dipelajari.

b. Prinsip penggunaan alat pemusat perhatian

Prinsip ini mengatakan bahwa jika dalam proses belajar perhatian siswa/si belajar terpusat pada pesan yang dipelajari, maka proses dan hasil belajar akan semakin baik. Perhatian memegang peranan penting dalam kegiatan belajar. Semakin baik perhatian siswa, proses dan hasil belajar akan semakin baik pula.

Cara-cara yang dapat digunakan untuk mengarahkan perhatian siswa antara lain:

1) Mengaitkan pelajaran dengan pengalaman atau kehidupan siswa

2) Menggunakan alat pemusat perhatian seperti peta konsep, gambar, bagan, dan media-media pembelajaran visual lainnya.

3) Menghubungkan pesan pembelajaran yang sedang dipelajari dengan topik-topik yang sudah dipelajari.

4) Menggunakan musik penyeling

5) Mencipatakan suasana riang

6) Teknik penyajian yang bervariasi

7) Mengurangi bahan/matteri yang tidak relevan

c . Prinsip partisipasi aktif siswa

Meliputi aktifitas, kegiatan, atau proses mental, emosional maupun fisik. Contoh aktifitas mental misalnya mengidentifikasi, membandingkan, menganalisis, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk aktifitas emosional misalnya semangat, sikap, positif terhadap belajar, motivasi, keriangan, dan lain-lain. Contoh aktifitas fisik misalnya melakukan gerak badan seperti kaki, tangan untuk melakukan ketrampilan tertentu.

Cara-cara yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa adalah:

1) Memberikan pertanyaan-pertanyaan ketika proses pembelajaran berlangsung

2) Mengerjakkan latihan pada setiap akhir suatu bahasan

3) Membuat percobaan dan memikirkan atas hipotesis yang diajukan

4) Membentuk kelompok belajar

5) Menerapkan pembelajaran kontekstual, kooperatif, dan kolaboratif

d. Prinsip Umpan Balik

Umpan balik adalah informasi yang diberikan kepada siswa mengenai keberhasilan atau kekurangan dalam belajarnya. Upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam memberikan umpan balik diantaranya dengan memberikan soal atau pertanyaan kepada siswa, kemudian memberitahunya dengan benar. Memberikan tugas, kemudian memberitahukan tugas apakah tugas yang dikerjakan sudah benar. Kembalikan pekerjaan siswa yang telah dikoreksi, dinilai, atau diberi komentar/catatan oleh guru.

e. Prinsip Perulangan

Mengulang-ulang penyajian informasi atau pesan pembelajaran. Proses penguasaan materi pembelajaran atau ketrampilan tertentu memerlukan perulangan.. tidak adanya perulangan akan mengakibatkan informasi atau pesan pembelajaran tidak bertahan lama dalam ingatan, dan informasi tersebut mudah dilupakan.

Upaya mengulang informasi dapat dilakukan dengan cara yang sama dan dengan media yang sama. Misalnya media kaset diputar berulang-ulang, membaca buku dua atau tiga kali. Perulangan dapat juga dengan cara dan media yang berbeda pula. Misalnya setelah mendengar metode ceramah, siswa diminta untuk membaca buku dengan topik yang sama. Penggunaan epitome, advance organizer, rangkuman, atau kesimpulan.

3. Aplikasi Desain Pesan dalam Kegiatan Belajar Mengajar PAIKEM

Terjadinya belajar dilihat dari adanya perbedaan kecakapan seseorang antara sebelum dan sesudah mengalami dan berada dalam situasi belajar tertentu. PAIKEM memungkinkan pebelajar memperoleh kemampuan berdasarkan teori Gagne yaitu ketrampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, ketrampilan motorik, dan sikap. Berikut akan dijelaskan masing-masing defini kemampuan tersebut,dan pengintregasian prinsip desain dengan pendekatan PAIKEM akan dijelaskan dalam matrik.

Ketrampilan Intelektual yang dimaksud ketrampilan intelektual adalah kemampuan untuk menggunakan lambang-lambang seperti bilangan, bahasa, dan lambang-lambang lainnya yang mewakili benda-benda nyata pada lingkungan individu. Ketrampilan intelektual dibagi menjadi empat kategori yaitu diskriminasi,konsep,aturan dan pemecahan masalah.

Diskriminasi adalah kemampuan untuk memberi respon yang berbeda terhadap stimuli yang berbeda satu dengan yang lain menurut satu dimensi fisik atau lebih. Konsep adalah kemampuan yang memungkinkan individu untuk mengidentifikasi stimulus yang mempunyai karakteristik walaupun stimulinya berbeda secara menyolok. Aturan adalah subyek dapat merespon hubungan dan kesatuan obyek. Pemecahan masalah aturan-aturan yang lebih komplek untuk memecahkan masalah.

Strategi kognitif meliputi kemampuan yang dipergunakan untuk mengelola proses perhatian belajar, mengingat, dan berfikir. Kemampuan informasi verbal terkait dengan mempelajari fakta-fakta, mempelajari serangkaian informasi yang terorganisasikan. Ketrampilan sikap adalah keadaan internal yang komplek yang mempengaruhi pemilihan tingkah laku itu sendiri. Ketrampilan motorik adalah kemampuan yang dipelajari untuk melakukan kecakapan yang hasilnya dicerminkan oleh adanya kecakapan, ketepatan, dan kelancaran gerakan tubuh.






4. Penilaian Hasil Belajar.

Sebuah pertanyaan untuk direnungkan. Apakah sebuah ”Penilaian Mendorong Pembelajaran ?” atau apakah ”pembelajaran itu untuk mempersiapkan sebuah tes ? ” atau apakah ’Pembelajaran dan Tes’ tersebut dilakukan guna mendapatkan pengakuan tentang kompetensi yang diperlukan siswa atau sekolah? Dalam pelaksanaan konsep PAIKEM, penilaian dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa, baik itu keberhasilan dalam proses maupun keberhasilan dalam lulusan (output). Keberhasilan proses dimaksudkan bahwa siswa berpartisipasi aktif, kreatif dan senang selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan lulusan (output) adalah siswa mampu menguasai sejumlah kompetensi dan standar kompetensi dari setiap Mata Pelajaran, yang ditetapkan dalam sebuah kurikulum. Inilah yang disebut efektif dan menyenangkan. Jadi, penilaian harus dilakukan dan diakui secara komulatif. Penilaian harus mencakup paling sedikit tiga aspek : pengetahuan, sikap dan keterampilan. Ini tentu saja melibatkan Professional Judgment dengan memperhatikan sifat obyektivitas dan keadilan. Untuk ini, pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP) merupakan pendekatan penilaian alternatif yang paling representatif untuk menentukan keberhasilan pembelajaran Model PAIKEM

Media dan bahan ajar. ”Media dan Bahan Ajar” selalu menjasi penyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran di sekolah. Sebuah harapan yang selalu menjadi wacana di antara para pendidik/guru kita dalam melaksanakan tugas mengajar mereka di sekolah adalah tidak tersedianya ’media pembelajaran dan bahan ajar’ yang cukup memadai. Jawaban para guru ini cukup masuk akal. Seakan ada korelasi antara ketersediaan ’media bahan ajar’ di sekolah dengan keberhasilan pembelajarn siswa. Kita juga sepakat bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan proses pemblajarn siswa di sekolah adalah kurangnya media dan bahan ajar. Kita yakin bahwa pihak manajemen sekolah sudah menyadarinya. Tetapi, sebuah alasan klasik selalu kita dengar bahwa ”sekolah tidak punya dana untuk itu”!.

Dalam pembelajaran Model PAKEM, seorang guru mau tidak mau harus berperan aktif, proaktif dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah mampu mengaksesnya. Tanpa merendahkan sifat dan nilai multimedia elektronik, para guru dapat memilih dan merancang media pembelajaran alternatif dengan menggunakan berbagai sumber lainnya, seperti bahan baku yang murah dan mudah di dapat, seperti bahan baku kertas/plastik, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sebagainya, guna memotivasi dan merangsang proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.

Media simulasi untuk pembelajaran PAKEM tidak selalu harus dibeli jadi, tetapi dirancang bisa dirancang oleh seorang guru mata pelajaran sendiri. Guru dituntut lebih kreatifdan memiliki kesempatan untuk mengembangkan ide dan inofatifnya.. Jadi, model ’pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan’, atau yang kita sebut dengan PAKEM itu tidak selalu mahal. Unsur kreatifitas itu bukan terletak pada produk/media yang sudah jadi, tetapi lebih pada pola fikir dan strategi yang digunakan secara tepat oleh seorang guru itu sendiri dalam merancang dan mengajarkan materi pelajarannya.

Dalam merancang sebuah media pembelajaran, aspek yang paling penting untuk diperhatikanoleh seorang guru adalah karakteristik dan modalitas gaya belajar individu peserta didik, seperti dalam pendekatan ’Quantum Learning’ dan Learning Style Inventory’. Media yang dirancang harus memiliki daya tarik tersendiri guna merangsang proses pembelajaran yang menyenangkan. Sementara ini media pembelajaran yang relatif cukup representatif digunakan adalah media elektronik (Computer – Based Learning). Selanjutnya skenario penyajian ’bahan ajar’ harus dengan sistem modular dengan mengacu pada pendekatan Bloom Taksonomi. Ini dimaksudkan agar terjadi proses pembelajaran yang terstruktur, dinamis dan fleksibel, tanpa harus selalu terikat dengan ruang kelas, waktu dan/atau guru. Perlu dicatat bahwa tujuan akhir mempelajari sebuah mata pelajaran adalah agar para siswa memiliki kompetensi sebagaimana ditetapkan dalam Standar Kompetensi (baca Kurikulum Nasional). Untuk itu langkah/skenario penyajian pembelajarn dalam setiap topik/mata pelajaran harus dituliskan secara jelas dalam sebuah Modul. Dengan demikian diharapkan para siswa akan terlibat dalam proses pembelajaran tuntas (Mastery Learning) dan bermakna (Meaningful Learning).

5. Jenis Penilaian Sesuai Dengan Pembelajaran Model PAIKEM

1). Penilaian yang sesuai dengan pembelajaran model Pakem adalah penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.

2.) Tujuan Penilaian otentik itu sendiri adalah untuk:

(a) Menilai Kemampuan Individual melalui tugas tertentu;

(b) Menentukan kebutuhan pembelajaran;

(c) Membantu dan mendorong siswa;

(d) Membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik; (e) Menentukan strategi pembelajaran;

(f) Akuntabilitas lembaga; dan

(g) Meningkatkan kualitas pendidikan.

3). Bentuk penilaian tes dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dan perbuatan. Sementara itu, bentuk penilaian non tes dilakukan dengan menggunakan skala sikap, cek lis, kuesioner, studi kasus, dan portofolio.

4.) Dalam pembelajaran, dengan pendekatan Pakem rangkaian penilaian ini seyogiayanya dilakukan oleh seorang guru. Hal ini disebabkan setiap jenis atau bentuk penilaian tersebut memiliki beberapa kelemahan selain keunggulan.

6. Tujuan Penilaian Pembelajaran Model PAIKEM

1). Menilai kemampuan individual melalui tugas tertentu

2). Menentukan kebutuhan pembelajaran

3). Membantu dan mendorong siswa

4). Membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik

5). Menentukan strategi pembelajaran

6). Akuntabilitas lembaga

7). Meningkatkan kualitas pendidikan

B. Merancang Dan Malaksanakan Penilaian Pembelajaran Model PAIKEM

1. Merancang penilaian dilakukan bersamaan dengan merancang pembelajaran tersebut. Penilaian disesuaikan dengan pendekatan dan metode yang dilaksanakan dalam pembelajaran.

2. Dalam pembelajaran dengan pendekatan model Paikem, penilaian dirancang sebagaimana dengan penilaian otentik. Artinya, selama pembelajaran itu berlangsung, guru selain sebagai fasilitator juga melakukan penilaian dengan berbagai alat yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan oleh siswa.

C. Implementasi Pendekatan SETS dalam Pembelajaran

Pembelajaran dengan pendekatan SETS memililiki karakteristik sebagai berikut:

a. Relevansi

Pembelajaran berorientasi konteks dan menempatkan proses pembelajaran pada masalah otentik dan memperhatikan kebutuhan pembelajar.

b. Metodologi

Menggunakan metodologi pembelajaran yang “self-directed” dan “co-operative”.

c. Masalah

Masalah dalam konteks diarahkan agar peserta didik dapat berpikir terarah, interdisipliner dan global.

d. Konsep

Untuk menerapkan pendekatan SETS dalam pembelajaran yang harus dilakukan pertama kali adalah membuat peta “consequence” yang menggambarkan konteks, konsep serta strategi pembelajaran yang akan dilakukan. Peta “consequence” dapat dipandang sebagai peta konsep yang diperkaya dengan isu permasalahan di masyarakat, konteks materi pebelajaran dalam aspek teknologi dan lingkungan. Peta “consequence” tersebut kemudian dapat diturunkan dalam bentuk alur pembelajaran dengan penekanan membangun keterampilan untuk mengambil keputusan dengan justifikasi sosio-saintifik (Holbrook, 2006).

D. Panduan Pembelajaran Berbasis SETS

Selain menjanjikan kualitas pembelajaran yang lebih baik (dan berbagai penelitian pendidikan menunjukkan hal itu), pembelajaran berbasis SETS juga mengandung beberapa risiko. Panduan ini disusun untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran berbasis SETS, dan meminimalkan risiko yang mungkin terjadi.

Secara garis besar, tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran berbasis SETS adalah :

1. Inisiasi: pendahuluan pembelajaran SETS dengan mengangkat dan mendiskusikan isu atau masalah.
2. Penetapan kompetensi sains: mengumpulkan kompetensi sains yang diperlukan untuk lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi.
3. Dekontekstualisasi: pemisahan konsep dan prinsip sains (yang perlu dicapai kompetensinya) dari konteks isu atau masalah yang diangkat.
4. Pembelajaran konsep dan prinsip sains: pemantapan penguasaan konsep dan prinsip sains, melalui metode pembelajaran yang sesuai.
5. Penerapan: menerapkan konsep dan prinsip sains pada isu atau masalah.
6. Integrasi: membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sains, serta antar konsep/prinsip tersebut dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
7. Perangkuman: merangkum kompetensi yang seharusnya telah dimiliki peserta didik, termasuk kemampuan menerapkannya pada kasus tertentu.

1. Inisiasi

Pada tahap ini, guru mengangkat isu atau masalah yang ada dalam kehidupan peserta didik sehari-hari, atau yang hangat di media (koran, TV, dll.). Isu atau masalah yang diangkat bisa pula berasal dari peserta didik. Setelah pemilihan isu, dilakukan penggalian cara pandang dan pemahaman peserta didik terhadap isu atau masalah tersebut.

Untuk melangkah ke tahap berikut, guru bersama-sama peserta didik merumuskan masa­lah, atau menegaskan batas-batas topik isu tersebut untuk mengarahkan perhatian yang memusat pada isu yang jelas. Pembatasan ini akan memperjelas kompetensi sains apa yang diperlukan untuk memahami atau memecahkan masalah tersebut.

2.Penetapan Kompetensi Sains

Guru mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terkait dengan isu yang diangkat. Seperti dijelaskan pada ragam pendekatan SETS, kompetensi dasar yang relevan bisa berasal dari satu bab, atau lintas bab, atau bahkan lintas mata pelajaran. Dari kajian ini, dikumpulkan kompetensi dasar (sains dan non-sains) yang diperlukan untuk lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Jika guru sebenarnya telah mempersiapkan topik yang akan diangkat sebelum tahap inisiasi, maka guru bisa mengetahui daftar target kompetensi sains sebelum pertemuan inisiasi di atas.

3. Dekontekstualisasi

Pada tahap ini, peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi tahap sesudahnya yaitu pembelajaran konsep dan prinsip sains[1], yang dalam kasus-kasus tertentu akan merupakan tahap yang memiliki learning curve yang tajam. Tahap penyiapan peserta didik ini disebut dekontekstualisasi, karena peserta didik perlu dipersiapkan agar fokus pada pembelajaran konsep dan prinsip-prinsip yang perlu dikuasai, tanpa terganggu oleh konteks, isu, atau masalah yang diangkat.

Tahap ini bisa berupa peralihan yang tak kentara dan mulus dari tahap inisiasi pemilihan konteks ke tahap setelah dekontekstualisasi yaitu pembelajaran sains. Guru bisa men­ciptakan suasana kelas yang memungkinkan peralihan mulus ini. Tahap ini bisa pula berupa permintaan tegas kepada peserta didik, agar meninggalkan diskusi tentang isu/masalah, tapi mulai memusat­kan perhatian pada pencapaian kompetensi sains (atau bidang lain) yang dibutuh­kan untuk memahami atau menye­lesaikan masalah.

Proses dekontekstualisasi yang gagal akan menyebabkan “keberhasilan-semu” pada pembelajaran berbasis STM. Peserta didik terlihat antusias terhadap kegiatan pembelajaran, tertarik pada isu atau masalah yang diangkat, aktif dalam pencarian solusi masalah (atau bergairah dalam diskusi untuk memahami masalah), tetapi tidak terjadi pem­belajaran konsep dan prinsip sains, yang justru merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Landasan keilmuan yang digunakan untuk berusaha memahami isu atau memecahkan masalah hanya konsep dan prinsip yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya, dan tidak terjadi proses pembelajaran konsep dan prinsip baru yang diharapkan. Tanpa penguasaan prinsip dan konsep itu, pemecahan masalah yang dihasilkan tidak memiliki landasan yang kuat, atau bahkan keliru!

4. Pembelajaran Sains

Pada tahap ini terjadi pembelajaran konsep dan prinsip sains (atau pembelajaran bidang-bidang lain yang relevan, jika pembelajaran berbasis STM digunakan untuk lintas mata-pelajaran). Pada tahap ini, diperlukan sarana untuk memastikan bahwa peserta didik memahami dan diharapkan mampu menerapkan konsep dan prinsip yang mewakili kompetensi dasar dalam standar isi. Pengujian penguasaan peserta didik dapat pula dilakukan lewat pengamatan guru terhadap tahap sesudah ini (yaitu tahap menerapkan prinsip dan konsep untuk memecahkan atau memahami masalah, dengan landasan keilmuan yang lebih kuat).

Pada pembelajaran ini, guru dapat memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan bahan yang disampaikan. Karena pembelajaran yang dilakukan telah diawali dengan konteks yang mema­yungi, yang dekat dengan kehidupan peserta didik, maka diharapkan kualitas pembelajaran bisa meningkat, dengan peserta didik yang lebih aktif, dll.

Seperti dijelaskan sebelumnya, keberhasilan tahap ini selain ditentukan oleh metode pembelajaran yang dipilih dan proses pembelajaran yang terjadi, juga sangat ber­gantung pada keberhasilan tahap dekontekstualisasi sebelumnya, yang mempersiap­kan suasana yang baik untuk tahap ini. Untuk sebagian peserta didik, proses dekonteks­tualisasi yang baik dan pembelajaran konsep/prinsip yang berhasil dapat secara tajam mengubah persepsi peserta didik terhadap permasalahan yang dihadapi.

5. Penerapan

Pada tahap ini, guru dan peserta didik secara bersama menerapkan konsep dan prinsip sains pada isu atau masalah yang diangkat. Guru perlu menahan diri untuk tidak terlalu cepat membantu peserta didik menerapkan apa yang baru dipelajarinya pada isu tersebut. Guru sejauh mungkin hanya memfasilitasi usaha peserta didik untuk memahami atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama.

Pada tahap ini, seharusnya terjadi pemantapan konsep dan prinsip pada diri peserta didik. Proses menerapkan pengetahuan, konsep, dan prinsip pada hal yang nyata akan memberi makna lebih terhadap pengetahuan tersebut.

Pada bentuknya yang paling sederhana, tahap ini tidak menuntut terjadinya proses pemecahan masalah, melainkan hanya peningkatan pemahaman peserta didik pada isu yang diangkat. Guru dapat mengajukan permintaan sederhana kepada peserta didik untuk mencoba menjelaskan isu tersebut berdasarkan pengetahuan baru yang telah diper­oleh pada pembelajaran yang dilakukan.

6. Integrasi

Tahap penerapan dilanjutkan dengan usaha membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sains yang diajarkan. Wawasan terapan yang diperoleh pada tahap sebelumnya akan memperkaya cara pandang terhadap keterkaitan antar konsep dan prinsip tersebut. Wawasan tersebut juga akan memberi gambaran keterkaitan yang jelas antara konsep/prinsip sains dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.

Untuk memperkaya tahap ini, guru dapat mengajak peserta didik untuk berdiskusi tentang kemungkinan penerapan konsep/prinsip baru yang dipelajari pada konteks selain isu atau masalah yang diangkat pada pembelajaran berbasis STM ini. Pengayaan ini akan memberi kemampuan kepada peserta didik untuk menerapkan suatu prinsip pada situasi yang berbeda.

7. Perangkuman

Akhirnya, guru atau peserta didik dapat merangkumkan hasil pembelajaran berbasis STM yang telah dilakukan. Lewat tahap perangkuman ini, ditegaskan berbagai kompetensi dasar yang telah dimiliki peserta didik, dan wawasan terapan yang telah dimiliki. Tahap ini harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik dalam mempelajari sesuatu yang baru, dan dalam memecahkan atau me­mahami masalah yang relevan dengan kehidupannya.

8. Peralihan Menuju Pembelajaran SETS/Salingtemas

Karena pembelajaran berbasis SETS akan terus berkembang, maka akan terus hadir berbagai pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan efisiensi dan ketercapaian pembelajaran berbasis SETS. Tahap-tahap yang dijelaskan di atas haruslah dipandang sebagai salah satu alternatif pendekatan dalam pem­belajaran berbasis SETS. Pendekatan yang bisa digunakan bisa amat beragam, dari mulai penye­derhanaan terhadap tahap-tahap di atas untuk awal peralihan menuju pembelajaran berbasis SETS hingga penambahan tahap pengayaan dengan meng­undang pakar yang berkompeten dalam bidang yang relevan dengan isu/masalah yang diangkat. Untuk yang terakhir ini, pakar diundang untuk turut berdiskusi dengan peserta didik setelah peserta didik mendapat pembekalan pemahaman konsep dan prinsip dasar yang diperlukan. Yang diharapkan adalah terciptanya suasana diskusi yang saling mengisi: peserta didik mendapat tambahan kompetensi dari pakar yang diundang, sebalik­nya pakar tersebut bisa saja memperoleh gagasan-gagasan segar dari peserta didik.

Untuk mulai beralih menuju pembelajaran berbasis SETS, guru perlu merasa bebas untuk bereksperimen. Tahap-tahap di atas bisa disederhanakan, disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi (peserta didik, prasarana, sumber belajar, dll.). Pada tingkatnya yang paling sederhana, guru harus mengenal ciri minimal berikut yang mem­bedakannya dari pem­belajaran tradisional. Pembelajaran tradisional mulai dengan pembelajaran konsep dan prinsip, diikuti dengan contoh-contoh terapan, sedangkan pembelajaran yang baru ini memulai dengan isu atau masalah yang dekat dengan kehidupan peserta didik, diikuti dengan pembelajaran konsep dan prinsip, untuk akhirnya kembali ke isu/masalah untuk difahami atau dipecahkan dengan menerapkan konsep atau prinsip yang dipelajari.

Pada keadaan dimana guru belum siap dengan pembelajaran berbasis SETS, guru bisa tetap mulai mengumpulkan gagasan isu atau masalah melalui peserta didik, yang dapat digunakan untuk pembelajaran SETS di kemudian hari. Tahap brainstorming ini bisa dengan per­tanyaan sederhana kepada peserta didik tentang peristiwa atau isu apa saja yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini, di lingkungan terdekatnya atau dalam berita, dll. Untuk sedikit memperkaya isu/topik/masalah, bisa dilakukan diskusi kecil tentang beberapa isu tersebut. Guru bisa mencatat isu-isu yang kira-kira dapat digunakan untuk merancang pembelajar­an berbasis SETS suatu saat nanti.

Akhirnya, tidak ada peralihan yang sempurna dari pembelajaran tradisional. Kita tidak mungkin menghadapi kondisi ideal dimana seluruh kompetensi dasar yang dituntut oleh kurikulum atau standar isi dapat ditumbuhkan melalui pembelajaran berbasis SETS. Guru perlu mencatat kompetensi apa saja yang telah ditumbuhkan lewat pembelajaran SETS, dan melakukan pembelajaran non-SETS untuk mencapai kompetensi-kompetensi dasar yang belum disentuh.

9. Implikasi Model Pembelajaran dengan Pendekatan SETS

Implementasi model pembelajaran dengan menggunakan visi dan pendekatan SETS, menuntun peserta didik untuk mengaitkan konsep sain dengan unsur lain dalam SETS. Cara ini memungkinkan peserta didik memperoleh gambaran lebih jelas tentang keterkaitan konsep tersebut dengan unsur lain dalam SETS, baik dalam bentuk kelebihan ataupun kekurangannya.

Setiap peserta didik memiliki kemampuan dasar berbeda-beda, melalui penerapan konstruktivisme peserta didik dapat melakukan pembelajaran dari berbagai titik awal yang mereka kenal dekat dengan konsep sain yang akan dipelajari. Model pembelajaran bervisi dan berpendekatan SETS dengan sain sebagai titik awal yang disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik diharapkan mendorong keingintahuan dan memperkuat inisiatif peserta didik untuk mengaitkan dengan unsur-unsur SETS lainnya. Tanggung jawab pendidik yang terutama adalah tidak hanya sadar akan prinsip umum mengenai pengalaman belajar sain sesuai dengan kondisi lingkungan keseharian peserta didik, tetapi juga mengaitkan dengan teknologi, lingkungan, masyarakat yang terus berkembang untuk memperoleh pengalaman yang membawa ke arah pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan.

Implikasi terkait dengan penerapan model pembelajaran bervisi dan berpendekatan SETS adalah:

1. Diperlukan penurunan silabus mata pelajaran berdasarkan standar isi dan kompetensi yang bervisi dan berpendekatan SETS.
2. Diperlukan pengembangan perencanaan pembelajaran yang subjeknya bervisi dan berpendekatan SETS
3. Diperlukan pengembangan atau penyediaan bahan pembelajaran yang bervisi dan berpendekatan SETS.
4. Diperlukan pengembangan instrumen evaluasi bervisi dan berpendekatan SETS untuk pembelajaran topik pada subyek yang diperkenalkan.

10. Pedoman Khusus Penyusunan Silabus Bermuatan SETS

Silabus bermuatan SETS harus mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang sudah ditetapkan . Silabus ini harus memberi arah yang jelas mulai kompetensi yang dikembangkan ke dalam beberapa indikator serta kegiatan pembelajaran yang harus dialami siswa, serta bahan ajar dan cara penilaiannya.

Silabus bermuatan SETS dikembangkan oleh guru, sesuai dengan kebutuhan dan potensi siswanya. Silabus ini pada dasarnya mengandung butir-butir penting yang perlu diimplementsikan secara utuh dalam proses pembelajaran.

Langkah-langkah penyusunan silabus bermuatan SETS adalah sebagai berikut :

1. Identifikasi SK dan KD yang dapat dikaitkan dengan SETS
2. Penyusunan indikator bermuatan SETS
3. Pengembangan materi pembelajaran bermuatan SETS
4. Penetapan kegiatan pembelajaran bermuatan SETS
5. Menetapkan jenis penilaian bermuatan SETS
6. Penentuan alokasi waktu
7. Penentuan sumber bahan/alat bermuatan SETS.

11. Penyusunan indikator

Kompetensi Dasar yang dijabarkan menjadi indikator menunjukkan tanda-tanda yang bermuatan bermuatan SETS, yang ditampilkan oleh peserta didik dalam pembelajaran. Indikator juga sebagai penanda pencapai kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup sikap pengetahuan dan keterampilan. Satu Kompetensi Dasar dapat dijabarkan menjadi dua, tiga, atau empat/lebih indikator secara sistimatis.

Contoh SK dan KD yang dapat dikaitkan dengan SETS adalah sebagai berikut :

SK : 5.1 Menjelaskan sistem dan sifat koloid serta penerapannya dalam kehidupan sehari- hari

KD : 5.2. Mengelompokkan sifat-sifat koloid dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

12.. Pengembangan materi pembelajaran

Materi dikembangkan berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dasar dan bermuatan SETS. Dengan memperhatikan potensi peserta didik dan kebermanfaatannya serta alokasiwaktu yang tersedia.

13.. Penetapan kegiatan pembelajaran

Dirancang dari indikator untuk memberikan pengalaman bermuatan SETS. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat menggunakan pendekatan yang bervariasi. Pembelajaran berpusat kepada peserta didik.

BAB IV

PENUTUP

Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan strategi pembelajaran yang sangat baik dan cocok untuk situasi dan kondisi siswa. Strategi yang sangat cocok dan menarik peserta didik dalam pembelajaran sekarang ini dikenal dengan nama PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan)

PAIKEM adalah sebuah model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengejakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektifSeperti telah disebutkan di muka, pendekatan STM pada awalnya dikembangkan untuk pembelajaran sains, khususnya sains alam, tetapi dapat dikaji penggunaannya pada pembela­jaran bidang-bidang lain. Pertanyaan dasar yang dapat digunakan adalah bagaimana proses pembelajaran dirancang agar sejauh mungkin diselaraskan dengan pengalaman pribadi peserta didik dan kecenderungan peserta didik dalam memahami ling­kungan sekitarnya. Pendekatan ini bisa diujicobakan pada pembelajaran bidang-bidang lain, tidak hanya sains atau ilmu sosial. Sebagai contoh, dari sudut pandang peserta didik, bahasa tumbuh dari lingkungan sosial yang dijalaninya. Dengan demikian pembelajaran bahasa perlu diawali dari lingkungan sosial peserta didik, dengan mengangkat isu hangat di lingkungan­nya sebagai konteks pembelajaran, ataupun dengan memilih budaya atau cara berbahasa yang tumbuh di lingkungan sosial peserta didik sebagai titik awal proses pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2005. Pembelajaran Aktif. Buletin P & P, Versi Elektronik, Edisi 3 (April – Jun 2005)

Depdiknas. Tanpa Tahun. Konsep Pakem.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/bahan-ajar/konsep-pakem/feed, November, 23, 2007.

Edgar Dale. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching (3 rd edition) Holt, Tinehart and Winston, 1969

Tim DBE2. 2007. Pengenalan Pembelajaran Efektif Dalam Mata Pelajaran Pokok. Jakarta.

The Citykids Foundation. Teori Dan Strategi Pengajaran Pembelajaran Dalam Merekabentuk Perisian Kursus. Malaysia. http://www.tripod.lycos.com/. May 23, 2007

http://unikharynizar.multiply.com/journal/item/8/desain_pesan_pembelajaran_PAKEM

http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/11/05/pembelajaran-pakem-ii/

http://sunartombs.wordpress.com/2008/12/25/pakem-pembelajaran-aktif-kreatif-efektif-dan-menyenangkan/

http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=indeksrubrikberita&rubrik=

0 Comments:

Post a Comment